Pemerintah resmi memulai penerapan penggunaan bahan bakar jenis solar dengan campuran biodiesel sawit sebesar 40 persen (B40) per 1 Januari 2025. Dilansir dari situs resmi Kementerian ESDM dalam siaran pers 001.Pers/04/SJI/2025, Kebijakan ini diumumkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, dalam konferensi pers yang digelar di kantor Kementerian ESDM, Jakarta.
Menurut Bahlil, keputusan ini merupakan hasil rapat internal yang membahas secara mendalam transisi dari B35 ke B40, sebagai bagian dari upaya memperkuat ketahanan energi nasional berbasis energi terbarukan.
Bahlil menegaskan bahwa apabila penerapan B40 berjalan sesuai rencana, pemerintah—sesuai arahan Presiden Prabowo—akan mendorong penerapan B50 pada tahun 2026. Langkah ini diyakini mampu menghapus ketergantungan Indonesia terhadap impor solar sepenuhnya pada tahun tersebut. Ia menambahkan, program mandatori biodiesel ini merupakan bagian dari instruksi langsung Presiden dalam rangka memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus menekan angka impor bahan bakar.
Keputusan ini dilanjutkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) secara resmi pada 20 Februari 2025 dalam mensosialisasikan kebijakan pencampuran Bahan Bakar Nabati (BBN) jenis Biodiesel 40% (B40) ke dalam Minyak Solar.
Melalui pernyataan Dirjen EBTKE, Eniya Listiani Dewi mengungkapkan bahwa program B40 program mandatori BBN ini dapat mengurangi impor BBM, sehingga menghemat devisa. Penghematan devisa untuk B40 sebesar Rp147,5 triliun, sedangkan untuk B35 dapat menghemat Rp122,98 triliun. Dengan demikian terjadi penghematan devisa sekitar Rp25 triliun dengan tidak mengimpor BBM jenis minyak solar.
target utama merupakan bagian dari strategi nasional untuk:
- Mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM
Pemanfaatan B40 membantu menekan kebutuhan impor BBM, sehingga Indonesia menjadi lebih terlindungi dari fluktuasi harga minyak global dan risiko ketergantungan energi luar negeri. - Meningkatkan pemanfaatan energi bersih berbasis domestik
Dengan mengandalkan biodiesel dari kelapa sawit, B40 mendorong penggunaan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan berbasis potensi dalam negeri. - Mendorong ketahanan serta kemandirian energi nasional
Penggunaan energi lokal seperti biodiesel memperkuat ketahanan energi nasional dan mendukung terciptanya kemandirian pasokan dalam jangka panjang.
Selain Biodiesel, pemerintah juga tengah mengembangkan berbagai jenis BBN lain seperti bioetanol, biohidrokarbon diesel dan bensin, serta bioavtur, guna memperluas diversifikasi energi terbarukan dan kemandirian energi nasional dalam mendukung berbagai moda transportasi nasional.
Table of Contents
ToggleAwal Mula Pengembangan Biosolar
Penggunaan bahan bakar nabati di Indonesia, khususnya biosolar (campuran antara solar dan biodiesel), bermula dari kebutuhan mendesak akan alternatif energi fosil yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Ketergantungan terhadap minyak bumi, yang sebagian besar masih diimpor, mendorong pemerintah Indonesia sejak awal 2000-an untuk mencari solusi berbasis sumber daya domestik. Salah satu sumber utama adalah minyak kelapa sawit (CPO), yang kemudian diolah menjadi biodiesel.
Penerapan biosolar pertama kali diperkenalkan secara luas pada tahun 2006 dengan peluncuran program mandatori biodiesel B5, yaitu campuran 5% biodiesel dan 95% solar konvensional. Program ini menjadi bagian dari kebijakan diversifikasi energi nasional yang diatur melalui Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Evolusi Mandatori Biodiesel: Dari B5 ke B30
Seiring waktu, kapasitas produksi biodiesel dalam negeri meningkat, didukung oleh pertumbuhan industri sawit dan kebijakan insentif dari pemerintah. Hal ini memungkinkan peningkatan kadar campuran biodiesel dalam biosolar.
Berikut adalah tahapan historis implementasi mandatori penerapan biodiesel:
- 2006: Implementasi B5 secara nasional.
- 2010: Mandatori ditingkatkan menjadi B10.
- 2015: Pemerintah memperluas penggunaan dengan menerapkan B15.
- 2016: Penerapan B20 secara penuh di sektor publik dan transportasi.
- 2018: Implementasi B20 diperluas ke sektor non-public service obligation (non-PSO), seperti industri dan pertambangan.
- 2020: Pemerintah secara resmi meluncurkan B30 sebagai langkah lanjutan program energi hijau dan ketahanan energi nasional.
Program B30 menjadi titik penting karena menjadikan Indonesia sebagai negara pertama di dunia yang berhasil menerapkan biodiesel dengan kadar setinggi itu secara nasional.
Terbaru: Menuju Era B40
Pada tahun 2022-2023, pemerintah mulai melakukan uji coba campuran B40, yang terdiri dari 40% biodiesel dan 60% solar. Uji coba ini dilakukan oleh Kementerian ESDM, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), dan beberapa produsen otomotif serta lembaga pengujian.
Hasil uji menunjukkan bahwa B40 secara teknis dapat digunakan dalam kendaraan bermesin diesel, meskipun perlu ada penyesuaian pada sistem bahan bakar, filter, dan injeksi. Namun, B40 juga menunjukkan potensi besar dalam mengurangi impor solar sekaligus menyerap lebih banyak produksi kelapa sawit nasional.
2025: Implementasi Awal B40
Memasuki tahun 2025, pemerintah Indonesia mulai mengimplementasikan B40 secara bertahap, sebagai bagian dari roadmap transisi energi dan strategi pengurangan emisi karbon. Kebijakan ini juga selaras dengan komitmen Indonesia dalam perjanjian Paris Agreement untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
Program B40 dijalankan terlebih dahulu di sektor-sektor tertentu seperti transportasi umum dan industri besar. Jika keberhasilan tercapai, maka target implementasi B50 pada tahun 2026 dapat direalisasikan, sebagaimana arahan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan pentingnya ketahanan energi nasional dan pengurangan impor solar secara total.
Meninjau Kesiapan Infrastruktur Pengolahan Energi
Penerapan B40 bukan sekadar kebijakan substitusi energi, tetapi bagian dari strategi besar menuju kemandirian energi nasional. Namun, keberhasilan implementasinya tidak bisa dilepaskan dari kesiapan infrastruktur pengolahan energi dalam negeri. Mulai dari kapasitas produksi biodiesel, distribusi logistik, hingga fasilitas pencampuran di kilang, semua elemen harus berjalan selaras untuk memastikan pasokan B40 yang stabil dan berkualitas. Dengan dukungan infrastruktur yang memadai, Indonesia tidak hanya mampu mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM, tetapi juga memperkuat rantai pasok energi domestik secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Kini, Indonesia memiliki berbagai pabrik pengolahan biofuel di berbagai wilayah Indonesia. Dilansir dari berbagai sumber, pabrik pengolahan biofuel ini tersebar di wilayah Sumatera Utara, Riau, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, hingga Sulawesi Utara. Seiring dengan peningkatan kapasitas dan ekspansi infrastruktur pengolahan energi, penerapan standar keamanan yang sesuai dengan karakteristik industri berat menjadi hal yang mutlak.
Industri pengolahan bioenergi/biofuel seperti biodiesel, bioethanol, bioavtur dan sebagainya umumnya melibatkan proses kimia yang bersifat mudah terbakar, tekanan tinggi, serta lingkungan operasional yang berisiko. Oleh karena itu, setiap fasilitas harus mematuhi standar keselamatan industri seperti IEC, ATEX, dan SNI yang mencakup sistem proteksi terhadap kebakaran, ledakan, dan kebocoran bahan berbahaya.
Dalam konteks ini, kehadiran peralatan electrical explosion proof menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa sistem elektrikal seperti panel, kabel, dan lampu yang digunakan tidak menjadi sumber pemicu ledakan. Standar explosion proof memberikan perlindungan khusus di zona-zona rawan ledakan, menjadikan teknologi ini sebagai bagian integral dari pengembangan industri energi terbarukan yang aman, berkelanjutan, dan sesuai regulasi global.
Peran Helon Indonesia untuk Infrastruktur Pengolahan Bioenergi
Salah satu aspek paling krusial dalam menjamin keselamatan tersebut adalah penerapan sistem elektrikal yang aman terhadap potensi ledakan. Di sinilah Helon Indonesia sebagai distributor tunggal produk Helon explosion proof hadir sebagai mitra terpercaya bagi berbagai sektor industri, terutama industri dengan resiko ledakan dengan dedikasi tinggi terhadap pengembangan dan penyediaan solusi explosion proof yang telah memenuhi standar internasional.
Sebagai perusahaan yang mengedepankan sinergisitas yang baik dengan klien industri, akurasi spesifikasi dan penyelarasan terhadap regulasi keselamatan global seperti ATEX, IECEx, dan CNEX, Helon Indonesia tidak hanya menyediakan produk electrical explosion proof berkualitas, tetapi juga menghadirkan garansi maintenance sebagai layanan after sales dan menyediakan konsultasi gratis untuk setiap industri klien Helon Indonesia.
Baca juga : Perbedaan ATEX dan IECEX
Kini, produk Helon Explosion Proof telah terpasang di puluhan area fasilitas pengolahan dan pengelolaan bahan bakar nabati seperti biodiesel, biofuel, bioethanol dan sebagainya di berbagai wilayah Indonesia untuk mitra bisnis dari dalam dan luar negeri. Untuk mengetahui lebih banyak informasi peran kerjasama Helon Internusa Flamindo (Helon Indonesia) dan project portofolio di bidang bioenergi dapat mengunjungi halaman Helon Bio Energy.