Walaupun jumlah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terus bertambah, dan sudah menjangkau berbagai wilayah pedalaman Indonesia, peran teknologi biomassa masih krusial bagi Indonesia. Meskipun digadang-gadang sebagai tonggak energi masa depan, bukan berarti PLTS tanpa kelemahan. Faktor seperti cuaca dan ketidakstabilan iklim membuat pembangkit energi surya menjadi intermiten, dimana kapasitas produksinya menurun pada malam hari dan ketika cuaca buruk, sementara pembangkit biomassa menawarkan output kapasitas baseload yang stabil dengan faktor kapasitas mendekati 70 %. Selain itu, konversi limbah pertanian, perkebunan, dan kehutanan menjadi energi padat, cair, atau gas tidak hanya memitigasi emisi gas karbon dan metana, tetapi juga membuka peluang kerja di daerah penghasil material energi biomassa. Integrasi biomassa ke dalam bauran energi nasional, karenanya, menjadi strategi penting untuk memperkuat keandalan pasokan listrik sekaligus mendorong ekonomi sirkular berbasis sumber daya lokal.
Dari aspek global, kebutuhan energi terbarukan dunia yang ditargetkan naik tiga kali lipat sebelum 2030, mendorong munculnya sumber energi hybrid “firm & flexible” untuk menyeimbangkan output dari pembangkit surya dan angin yang cenderung fluktuatif. Firm dalam hal ini berarti sumber daya yang mampu memasok daya listrik secara kontinu & prediktif, tanpa gangguan, dan mampu berjalan selama 24 jam sehari. Flexible mencakup sumber daya yang dapat dilakukan penyesuaian output energi dengan cepat seperti sewaktu-waktu harus dihentikan dalam sekejap, sesuai dengan kebutuhan sistem untuk menyeimbangkan fluktuasi beban dan daya.
Bioenergi, yang secara spesifik disebut sebagai energi berbasis pengolahan biomassa, menempati posisi kunci karena pada material yang bersumber dari sumber daya hayati ini dapat dikonversi menjadi listrik, panas, maupun bahan bakar cair dan gas dengan intensitas karbon jauh lebih rendah dibanding batu bara atau minyak. Industri yang memproses tanaman atau residu organik ini dikenal sebagai bioindustri / biorefinery: suatu sistem terintegrasi yang mengonversi biomassa menjadi energi, bahan kimia, dan material ramah lingkungan secara efisien dan berkelanjutan.
Bagi Indonesia, bioenergi adalah strategi ganda—menurunkan emisi sekaligus meningkatkan ketahanan energi dan pengembangan nilai tambah sumber daya alam. Potensi biomassa nasional (limbah sawit, jerami, residu kehutanan, dan energy crops) cukup besar untuk mengurangi ketergantungan terhadap batu bara atas puluhan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indonesia yang memiliki kadar emisi tinggi, sedangkan program biodiesel B40 dan rencana B50 memperkuat dekarbonisasi sektor transportasi sambil menstabilkan harga CPO.
Di sisi hilir, pengembangan biokimia seperti bioplastik dan platform kimia berpeluang membuka pasar ekspor bernilai tinggi, yang akan berdampak pada pengurangan ketergantungan negara pada produksi petrokimia, serta menciptakan lapangan kerja di sektor ‘energi hijau’. Dengan demikian, akselerasi pengembangan biomassa, biofuel, dan biokimia bukan sekadar opsi, melainkan prasyarat Indonesia untuk mencapai target bauran energi terbarukan (EBT) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebesar 23 % di 2025 ini, serta pengembangan ekonomi berbasis bioindustri dari sumber daya hayati yang memiliki daya saing global.
Table of Contents
ToggleTarget Pengembangan Energi Bersih Global
Dalam upaya global menekan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 °C, negara-negara dalam Conference of the Parties ke-28 (COP28) sepakat untuk melipat gandakan kapasitas energi terbarukan dunia pada 2030. Namun, 90 % penambahan pembangkitan listrik ke depan nya akan berasal dari sumber variabel seperti energi surya (PLTS) dan kinetik angin/bayu (PLTB), sehingga dibutuhkan teknologi yang mampu memasok energi “firm & flexible”. Bioenergi masih menyumbang lebih dari separuh bauran komposisi energi terbarukan sekaligus wadah transisi energi zero emission di banyak negara yang menjadi penyeimbang utama di tengah percepatan dekarbonisasi energi.
Perbandingan Pembangkit Listrik Tenaga Angin/Surya dengan Pembangkit Berbasis Biomassa
Biaya Investasi
Dalam aspek biaya, pembangkit listrik tenaga surya memiliki biaya instalasi yang sangat mahal, baik itu harga perangkat dan instalasi nya dikarenakan pengembangan dan produksi perangkat pembangkit pada masa ini masih terbatas, baik di Indonesia maupun di dunia, namun untuk biaya operasional akan lebih murah. Sedangkan dalam pengolahan biomassa, infrastruktur ini memiliki biaya investasi yang lebih variatif, untuk infrastruktur dapat dilakukan modifikasi penyesuaian dari infrastruktur pembangkit energi yang sudah lebih dahulu ada (existing), yang disesuaikan pada jenis material organik yang diolah. Umumnya, pengolahan dari tumbuhan spesifik seperti pohon jarak sebagai bahan untuk bahan bakar mesin memerlukan biaya investasi yang cukup tinggi dibandingkan dengan hasil limbah organik lain seperti sekam padi dan limbah hasil hutan.
Kemampuan dan Kestabilan Produksi Energi
Pembangkit energi surya–angin yang bersifat intermitten atau tidak selalu aktif mengumpulkan dan mengolah energi dikarenakan ketergantungan yang sangat besar terhadap cuaca dan letak geografis dari pembangkit itu sendiri, infrastruktur PLTS dapat dipasangkan diberbagai wilayah di seluruh Indonesia, sedangkan PLTB memiliki keterbatasan, dimana letak geografis persebaran angin tidak merata di Indonesia. Sampai dengan saat ini hanya di wilayah tertentu seperti Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur dan beberapa area pesisir utara pulau Jawa yang memiliki kapasitas angin yang memadai.
Untuk kapasitas produksi PLTS diproyeksikan Kementerian ESDM mampu melebihi 3.200 Giga Watt (GW) dan menurut rilis kajian Beyond 443 GW dari IESR memetakan potensi teknis biomassa nasional mencapai 30,73 GW yang bersumber dari residu sawit, jerami padi, limbah kakao, kopi, hingga biomassa kayu yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Jumlah ini cukup untuk memasok listrik setara lebih dari 20 pembangkit PLTU besar, sekaligus membuka pasar baru bagi petani dan hutan tanaman energi.
Perbedaan kapasitas produksi antara dua pengolahan energi diatas tidak terlepas dari perbedaan mekanisme produksi dan pengaplikasian nya, untuk lebih detailnya akan dibahas dibawah ini.
Mekanisme dan Pengaplikasian Energi
Walaupun keduanya sama-sama tergolong energi terbarukan, energi surya dan biomassa memiliki perbedaan besar dalam mekanisme pengolahan dan pengaplikasiannya. Secara sederhana, energi surya dikumpulkan melalui perangkat panel fotovoltaik (panel surya) yang berfungsi menangkap panas yang dihasilkan oleh terik sinar matahari, untuk kemudian dikonversi secara langsung menjadi energi listrik.
Panel surya memiliki dua sistem utama dalam pemasangannya, yaitu sistem off-grid dan sistem on-grid. Pada sistem on-grid, listrik yang dihasilkan oleh panel surya dialirkan secara langsung ke jaringan listrik PLN pengguna. Untuk panel sistem off-grid, panel surya tidak terhubung ke jaringan listrik, oleh karena itu dibutuhkan perangkat baterai untuk menyimpan daya listrik yang berhasil dikonversikan dari perangkat panel surya.
Pengolahan energi biomassa memiliki mekanisme yang berbeda dengan pembangkit energi surya. Pada dasarnya, energi biomassa tidak dapat dikonversikan secara langsung menjadi energi listrik, melainkan diproses menjadi material pengganti bahan bakar pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) salah satunya dilansir dari situs resmi PLN, hasil uji coba penggunaan 100 persen biomassa cangkang kelapa sawit untuk bahan baku pengganti batu bara ( co-firing) di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan kapasitas 2×7 megawatt (MW) Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Adapun pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) seperti di wilayah Nusa Tenggara dan Pontianak yang menggunakan bahan bakar biosolar B40 sebagai energi penggerak pada mesin pembangkit.
Proses Pengolahan Biomassa Menjadi Bioenergi
Di balik citra “energi ramah lingkungan” dari bioenergi, sejatinya proses pengolahan energi ini mencakup memproses serat, residu, dan kandungan raw material salah satunya seperti minyak nabati yang kemudian dikonversikan menjadi material dengan reaksi kimia mudah terbakar—sedikit percikan dapat memicu lonjakan tekanan mendadak hingga level ledakan.
Pengolahan biomassa menjadi bioenergi adalah rangkaian proses yang mengubah bahan organik seperti limbah pertanian, tanaman energi, dan sisa hasil perkebunan menjadi sumber energi terbarukan—baik dalam bentuk padat, cair, maupun gas. Proses ini melibatkan beberapa tahapan teknis, dimulai dari pengumpulan bahan baku, pra-pengolahan, konversi, hingga pemurnian dan distribusi produk akhir.
Pengumpulan Bahan Baku
Tahap pertama dimulai dengan pengumpulan bahan baku dari berbagai sumber biomassa seperti jerami, sekam, batang jagung, limbah kayu, kotoran ternak, hingga tanaman khusus energi seperti jarak pagar dan kaliandra.
Pra-Pengolahan
Setelah dikumpulkan, biomassa harus melalui proses pra-pengolahan untuk meningkatkan efisiensi dan keseragaman. Proses ini mencakup pengeringan untuk menurunkan kadar air, pengecilan ukuran dengan pencacahan atau penggilingan, serta pemisahan material non-organik seperti batu dan logam. Dalam beberapa kasus, bahan berpati seperti singkong juga melalui proses fermentasi awal.
Konversi Energi
Setelah siap, biomassa dikonversi menjadi energi melalui tiga pendekatan utama: konversi termokimia, konversi biokimia, dan konversi mekanis. Konversi termokimia menggunakan panas tinggi untuk membakar, mem-pirolisis, atau menggasifikasi biomassa.
Dalam tahap ini, diperlukan standar keamanan anti ledak (explosion proof) sebagai upaya penguatan keamanan dari setiap resiko penyebab kecelakaan ledakan akibat gas dan material mudah terbakar lainnya. Salah satunya, dalam proses pembakaran langsung menghasilkan yang panas dan uap untuk pembangkit listrik. Adapun tahap pirolisis dalam tahap menghasilkan bio-oil, arang aktif, dan gas ringan. Sedangkan proses gasifikasi menghasilkan gas sintetis (syngas) yang dapat dibakar untuk energi. Sementara itu, konversi biokimia menggunakan mikroorganisme atau enzim. Contohnya adalah fermentasi bahan berpati menjadi bioetanol, dan digestasi anaerob untuk menghasilkan biogas dari limbah organik. Transesterifikasi juga termasuk dalam konversi biokimia, yaitu reaksi kimia untuk mengubah minyak nabati menjadi biodiesel. Adapun konversi mekanis dilakukan dengan cara memampatkan biomassa menjadi bentuk padat berenergi tinggi seperti briket atau pelet.
Pemurnian dan Pengolahan Akhir
Bioenergi yang dihasilkan dari proses tersebut sering kali memerlukan tahap pemurnian (refinery) atau pengolahan akhir, tergantung pada jenis dan kualitas yang diinginkan. Biogas, misalnya, dapat dimurnikan menjadi biomethane agar dapat digunakan dalam jaringan gas.
Dalam proses ini juga diperlukan keamanan berstandar explosion proof, terutama dalam proses pemanasan (boiling) material biomassa. Dalam proses ekstraksi bioetanol, komponen biomassa perlu dikeringkan hingga mencapai kemurnian di atas 99%, dan biodiesel perlu disaring untuk memenuhi standar mutu nasional maupun internasional. Area refinery ini kemudian di klasifikasikan sebagai zona 0 dan zona 1 hazardous area sehingga membutuhkan standar keamanan explosion proof.
Pendistribusian dan Pemanfaatan Energi
Produk akhir bioenergi kemudian didistribusikan dan dimanfaatkan sesuai bentuknya. Energi padat seperti pelet dan briket digunakan di sektor rumah tangga atau industri kecil. Energi cair seperti bioetanol dan biodiesel digunakan sebagai bahan bakar transportasi. Sementara energi gas seperti biogas atau biomethane dapat dimanfaatkan untuk listrik, pemanas, atau dialirkan ke jaringan gas.
Berikut ilustrasi rute konversi berbagai jenis biomassa menjadi produk bioenergi:
Jenis Biomassa | Proses Konversi | Produk Energi |
Tebu, Singkong | Fermentasi | Bioetanol |
Kelapa Sawit | Transesterifikasi | Biodiesel |
Sampah Organik | Anaerobic Digestion | Biogas |
Serbuk Kayu | Pirolisis | Bio-oil & Arang Aktif |
Jerami, Sekam | Pembakaran / Peletisasi | Listrik / Pelet Padat |
Dengan potensi biomassa yang sangat besar di Indonesia, proses pengolahan ini menjadi peluang strategis dalam mendukung ketahanan energi nasional serta mendorong pertumbuhan industri hijau berbasis sumber daya lokal.
Karena itu, di setiap area yang terdapat media penyijmpanan seperti silo/tanki, area pra-pengolahan dan area pengkonversi energi seperti yang terdapat konveyor, reaktor, dan panel listriknya memerlukan peralatan berstandar explosion-proof (CNEX, ATEX, IECEx) guna menjamin operasi tetap stabil 24/7, melindungi pekerja, sekaligus menjaga reputasi keamanan dan keberlanjutan industri di mata investor. Investasi pada teknologi perlindungan ini tidak hanya memenuhi regulasi, tetapi juga mengurangi downtime mahal, menekan biaya asuransi, dan mempercepat pengembalian modal proyek hijau Anda. Pastikan audit keselamatan dilakukan sejak tahap desain—karena energi bersih terasa lengkap bila dirangkai dengan standar antiledakan kelas dunia.
Kesimpulan
Pengembangan biomassa adalah aktivitas mencakup pengumpulan, pengolahan, dan konversi bahan organik—mulai dari limbah agrikultur hingga energy crops—menjadi material energi padat (pelet, briket), material cair (bio‑oil, bioetanol), maupun material gas (biogas/biomethane). Biomassa sebagai bagian dari pengembangan bioenergi bertugas menjadi ‘energi bersih’ yang diproses melalui mesin pembakaran yang sudah ada kita kenal selama ini, seperti mesin bakar pada moda transportasi, mesin bakar pembangkit listrik, dan sebagainya. Berbeda dengan mesin pembangkit listrik tenaga surya yang menghasilkan daya listrik yang dapat langsung didistribusikan kedalam jaringan listrik yang sudah ada, teknologi bioenergi tidak dirancang untuk menghasilkan listrik secara langsung.
Target utama dari pengolahan biomassa adalah usaha pengurangan emisi karbon yang dihasilkan oleh bahan bakar mesin pembangkit yang sudah digunakan selama ini melalui bahan baku organik yang lebih mudah didaur ulang dan berkelanjutan. Namun, pembangunan infrastruktur pengolahan energi dibangun dengan biaya yang tidak murah, dan memerlukan keterampilan dari disiplin ilmu yang berbeda untuk mengolah energi terbarukan.
Oleh karena itu, diperlukan langkah awal berupa dekarbonisasi emisi pada pembangkit listrik sebagai wadah transisi energi menuju energi yang lebih bersih, lebih berkelanjutan dengan yang dapat diaplikasikan pada mesin bakar yang ada. Mekanisme ini terbukti lebih murah dan lebih mudah diadaptasikan ke berbagai lapisan industri diberbagai negara. Pengolahan biomassa menjadi salah satu pilar utama peralihan energi bersih di dunia. Dari sisi pengguna langsung seperti masyarakat umum, bisa beralih ke bahan bakar mesin yang telah di lakukan seperti bahan biosolar B40 ataupun bahan bakar bensin seperti Pertamax Green milik Pertamina Persero tanpa harus mengganti moda transportasi milik pribadi.
Untuk pelaku industri pengolahan bioenergi yang disebutkan diatas yang memerlukan peralatan khusus berstandar keamanan explosion proof, silahkan menghubungi tim sales engineering Helon Explosion Proof untuk berkonsultasi gratis dan mendapatkan penawaran istimewa.